Minggu, 24 April 2011

dongenga warga indramayu


Seperti biasa, selepas panen dan disusul dengan datangnya musim kemarau, di areal sawah yang terhampar luas itu, para petani (peternak) bebek pun mulai berdatangan. Dan di areal itu, kakek adalah termasuk yang paling dulu. Sudah tiga hari beliau berjalan menggiring bebek-bebeknya. Pemujaan Monyet. Walau bermandikan peluh yang terus mengucur membasahi kulit keriputnya, tampaknya, dia enggan untuk mecari tempat berteduh.

Manakala, cacing-cacing di perutnya mulai berulah meminta makan, maka, di sela-sela kesibukannya menghalau bebek dia pun menoleh untuk menari temat berteduh. Tapi apa daya, di tengah-tengah hamparan sepertiga sawah yang mlai dipanen, tak ada sebatang pohon atau danau yang dapat digunakan sekadar untuk melepaskan lelahnya. Padahal, tubuh tuanya benar-benar meminta untuk beristirahat walau barang sejenak. Saat tulangnya mulai tak kuasa menyangga tubuh tuanya dan saat menengok ke arah timur, hati kakek langsung tercekat. Betapa tidak, kurang lebih dua ratus meter di hadapannya tampak berdiri tegak sebatang pohon asam.

Hatinya langsung berbunga-bunga. Tanpa menghiraukan bebek-bebeknya, sang kakek dengan setengah berlari langsung menghampiri pohon asam dan duduk di baah kerimbunannya. Tak seperti biasanya, kali ini, sang kakek tak sempat memperhatikan keadaan sekitarnya. Sambil duduk di atas sebuah lempengan batu tipis yang berukuran sekitar 0,5 meter yang dipikir sebagai tempat beristirahat bagi para penggarap sawah di sekitarnya. Apalagi, di sekitar itu tampak berserakan dedaunan pisang bekas pembungkus nasi yang sudah mongering bahkan ada sebagian yang mulai membusuk.

Sambil mengatur nafasnya yang masih memburu, sang kakek langsung membuka bajunya yang kuyup dengan keringat dan meletakkannya di ranting pohon. Dan setelah itu, sang kakek segera mengambil dan membuka kantong yang berisikan perbekalan di mana di dalamnya terdapat bungkusan nasi dan ikan serta air untuk minum.

Dengan amat lahap, sang kakek memakan bekalnya hingga tak tersisa barang sedikit pun. Maklum, sejak pagi, perutnya belum terisi nasi barang sebutir pun. Setelah itu, dia pun mengeluarkan bungkusan yang berisi tembakau tampang dan lipatan daun aren yang telah mengering. Setelah itu, jari jemari tuanya dengan cekatan memotong daun aren dan meracik tembakau tampang untuk dibuatnya menjadi rokok.

Seusai menyalakan, kini, dia pun menyandarkan tubuhnya di batang pohon sambil sesekali menghisap rokoknya dalam-dalam. Angin sepoi-sepoi basah yang menerpa tubuhnya, seketika mengudang rasa kantuknya yang berat. Tanpa sadar, matanya mulai mengecil dan rokok yang terselip di jarinya pun terjatuh. Kini, dia tertidur pulas dan bahkan mendengkur.

Waktu terus berjalan. Dan tak terasa, mentari pun mulai begeser ke peraduannya. Nun, di kejauhan, tampak serombongan orang berjalan menuju ke arahnya. Setelah dekat, tampak dengan jelas betapa yang berjalan paling depan adalah sosok yang usianya sebaya dengan kakek., Dia mengenakan pakaian serba hitam, mengenakan ikat kepala juga berwarna hitam sebagaimana layaknya seorang jawara.

Di tangan kanannya tampak terpegang pedupaan dari tanah liat, di mana apinya kelihatan membara akibat tertiup oleh hembusan angin. Dari asapnya yang mengepul, tercium bau kemenyan yang menyengat. Sementara, di belakangnya, tampak berjalan dua pasang manusia yang usianya pun tak jauh berbeda dengan psosok yang bejalan di depannya.

Entah apa tujuanmereka sebenarnya. Yang jelas, akibat rasa lelah yang teramat sangat, letaknya yang berlawanan arah serta terhalang oleh tanaman perdu yang teramat rapat, maka, kakek pun tak sempat memperhatikan sekitarnya. Ya … dia tidak tahu jika di balik pohon yang dipakainya sebagai tempat istirahat, terdapat sebatang pohon beringin yang teramat rindang yang usianya diperkirakan sudah mencapai ratusan tahun. Sementara, di bawah kerindangan pohon yang berdiri angkuh itu, terdapat gundukan batu bata yang tertata apik sebagaimana layaknya sebuah makam. Selain itu, di sana juga terdapat tempat duduk yang tampak bersih karena sering diduduki dan juga terbuat dari batu bata.

Karena dikelilingi oleh akar beringin yang menghunjam tanah dan lebatnya tanaman perdu yang mengelilinginya, maka, suasana kuburan itupun terasa angker. Nuansa mistisnya pun terasa pekat! Walau begitu, kelima sosok itu dengan takzim duduk bersimuh menghadap ke kuburan tadi.

Setelah sejenak menata diri, sang kuncen, yang tadi berjalan paling depan dan berpakaian serba hitam itu langsng menaburkan kemenyan ke pedupaan yang apinya kian membara. Serta merta, bau kemenyan yang terama menyengatpun menusuk hidung. Bahkan, ada di antara merekan yang terbatuk sambil sesekali tangannya menepiskan pekatnya asap kemenyan yang menyelimuti tubuhnya.

Karena penasaran, kakek langsung merapatkan tubuhnya ke pohon asam. Nafasnya pun sengaja ditahan. Hanya sesekali, dia menarik dan mengeluarkan napasnya dengan halus. Sementara, matanya dengan tajam tertuju kepada mereka yang tengah melakukan ritual.

Dari do’a yang dilantunkan dan sebelumnya ada penerangan dari sang kuncen, kakek dapat menarik simpulan betapa tempat itu adalah tempat bersekutunya manusia dengan iblis. Mereka adalah manusia yang nekad mencari kekayaan duniawi tanpa menghiraukan akibat yang bakal ditanggungnya nanti.

Prakiraan kakek ternyata benar. Di tengah-tengah semilirnya angin yang meniup dedaunan, kakek dengan jelas mendengar lantangnya suara kuncen yang sengaja datang guna menyampaikan maksud dan tujuannya. Usai itu, terdengar suara sang kuncen yang memanggil suatu nama yang terasa asing di telinga. Dan apa yang terjadi, setelah tiga kali mengulang, entah dari mana datangnya, seketika tampak segerombolan monyet yang langsung menghambur ke sesaji yang tersedia. Suaranya amat gaduh. Kawanan itu seolah sebulan tak pernah mendapatkan makanan.

Jeritan-jeritan kesakitan dan menyayat langsung membahana. Monyet-monyet itu berebut bahkan saling cakar. Sepertinya, mereka takut tidak kebagian. Dan di antara mereka, ada seekor monyet yang paling besar dan berekor buntung yang hanya menyaksikan saja. Seolah tidak begitu bergairah dan tidak nafsu makan. Dalam hati kakek bergumam, “Dia pasti rajanya!”

Pantas saja tadi si kuncen memanggil dengan kata; “Si bunting!” Jelas, dia adalah pemimpinnya. Kini, si Buntung duduk paling depan, dekat dengan kuncen. Sementara, tangannya menggenggam tumpeng dan memakannya dengan lahap. Bersamaan dengan habisnya sesajen, maka, monyet-monyetpun hilang entah kemana. Yang tampak, kelima orang itu pulang dengan penuh harap.

Yang tinggal hanyalah kakek dengan tubuh rentanya. Dia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil sesekali menarik napas berat. Di hatinya, dia muak melihat ada segelintir manusia yang nekad dan sampai hati menukar nyawanya untuk kebahagiaan sesaat. Setelah menimbang beberapa lama, akhirnya, kakek pun bertekad ingin menghancurkan sarang iblis itu dengan kekuatan yang dimilikinya. Dengan serta merta dia segera membuka kantong yang selama ini setia menemaninya. Didalamnya, dia mengambil sebuah jagung sisa makanan bebek, sementara, dari saku celananya dikeluarkan kemenyan yang terbungkus kertas putih. Ya … memang orang-orang tua dahulu tak pernah bisa lepas dari tradisi. Kemana pergi, kemenyan selalu saja menyertainya. Jagung dan bungkusan kemenyan dia masukan kembali ke dalam kantong dan menyambar bajunya. Seiring dengan kantong yang diselendangkan di bahunya, tangannya juga menggenggam ruyung yang terbuat dari kayu asam berbentuk “gada” yang selalu saja setia menemaninya. Dia pun langsung melangkah menuju ke kuburan yang terletak di bawah pohon beringin itu.

Tanpa memperdulikan bebek-bebeknya, dia langsung memasuki tempat pemujaan yang dari kejauhan masih tampak dengan jelas kemelun tipis asap pedupaan. Setelah sejenak meneliti keadaan sekitar dan membulatkan tekadnya, dia pun duduk di tepat sang kuncen tadi berikrar. Setelah meletakkan jagung dan kemenyan d sebelah kanannya, bara pedupaan yang mulai mereup langsung ditiup dengan keras oleh kakek.

Kemenyan pun lalu ditaburkan di atas pedupaan. Seiring dengan kepulan kemenyan yang kembali menebal, kakek langsung mengulang mantera yang tadi dibacakan oleh sang kuncen. Dan setelah itu, dia pun mulai memanggil dengan suara keras; “Buntung … Buntung … kemari kamu!”

Pemandangan yang terjadi pun seperti tadi. Yang datang hanyalah monyet-monyet kecil yang langsung mengerubuti jagung yang sengaja sudah dipipil dan ditaburkan oleh kakek. Kejadian yang aneh pun mulai terasa. Di antara binatang-binatang itu, ada seekor yang selalu menutupi wajahnya, ada yang hanya diam, dan sisanya berebut jagung dengan rakusnya.

Dengan tajam mata kakek terus tertuju pada monyet yang selalu menutupi wajahnya. Hatinya semakin tercakat manakala melihat monyet itu menangis. Karena yang dipanggil belum juga muncul, kali ini kakek kembali berteriak dengan nada marah; “Buntung … Buntung … Buntung …kemari kamu!”

Selang beberapa saat, dengan tenang dan tanpa rasa curiga barang sedikitpun, si Buntung pun datang menghampirinya. Kakek mempererat pegangannya pada ruyung, sementara, tangan kirinya terus saja menebarkan biji-biji jagung. Ketika si Buntung makin mendekat, dengan rasa geram yang teramat sangat, kakek pun mengayunkan ruyungnya dengan keras ke arah bahu kanan si Buntung. Serta merta, jeritan membahana pun terdengar dari mulut monyet yang kesakitan itu. “Akh …!”

Kakek enggan memberikan kesempatan pada si Buntung untuk melakukan perlawanan, sambil mengumpat, “Kamu telah membuat manusia tersesat. Kamu yang menebar kemusyrikan. Rasakanlah!” Tangan kakan kakek tak henti-hentinya menetakkan ruyungnya ke tubuh si Buntung.

Melihat rajanya disiksa, monyet-monyet yang lainpun langsung tunggang langgang dan menghilang di balik kerimbunan pohon beringin. Sesuai dengan wataknya yang keras, tanpa mempertimbangkan segala akiba dan resikonya, kakek terus saja menetakkan ruyungnya ke tubuh si Buntung yang sudah tak berdaya itu.

Entah berapa puluh atau ratus kali ruyung kakek menhantam tubuh si Buntung. Yang jelas, seiring kumandang adzan subuh yang sayup-sayup terlontar dari corong dimasjid dan musholla yang ada di kampung seberang sana, tubuh si Buntung pun raib bak ditelan bumi. Kini yang tinggal hanyalah kakek dengan napas yang memburu dan peluh yang membasahi tubuhnya.

Setelah melakukan sujud syukur dan dilanjutkan dengan tayamum untuk mendirikan shalat Subuh, kakek pun melantunkan do’a atas kerunia dan kekaabn yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta saat menghancurkan iblis si Buntung. Usai itu, kakek pun teringat akan bebek-bebeknya. Ya … dia segera mengumpulkan telur dan bebek-bebeknya dengan senyum. Maklum, kala itu harga telur bebek sedang melambung. Demikian sekelumit pengalaman kakek yang diceritakan kepadaku. Semoga, kisah ini dapat diambil manfaatnya leh kita semua.dedi.mengod@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar